Monday, March 30, 2009

TERMINILOGI TAUHID MENURUT SYEIKH ABUL QOSIM

Tauhid menurut Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy

Allah swt. berfirman: “Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Q.s. Al-Baqarah: 163).
Rasulullah saw. bersabda:
“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja . Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, ‘Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkan “separo tubuhku di darat dan separonya lagi di laut pada saat angin kencang”.

Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt.

berfirman pada angin, Kemarikan apa yang kamu ambil. ’Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah swt. bertanya pada orang tersebut, Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia menjawab ‘Karena malu kepada-Mu.’Kemudian Allah swt. mengampuninya.” (H.r. Bukhari).

Tauhid adalah suatu hukum bahwa sesungguhnyaAllah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti dikatakan, ‘Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungan dengan sifat keberanian (syaja’ah).”

Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada, yawahidu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti diucapkan: farrada fahuwa faarid, fard dan fariid. Akar kata Ahada, adalah Wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah , sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan di-dhammah diganti.

Makna eksistensi Allah swt. sebagai bersifat Esa didasarkan ucapan ilmu. Dikatakan, ‘Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk disifati dengan penempatan dan penghilangan.” Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki’, sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt, adalah Ketunggalan Dzat.

Sebagian ahli hakikat berkata,’ Arti bahwa AlIah swt. Itu Esa, adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat; penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, setta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya."

Tauhid ada tiga kategori:
Pertama, tauhid Allah swt. bagi Allah swt, yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah Esa.
Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba.
Ketiga, tauhidnya makhluk terhadap Allah swt. yaitu pengetahuan hamba bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia adalah Maha Esa. Serta wacana ini mengandung arti tauhid dalam ungkapan yang ringkas.

Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata, “Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan; cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Allah), maka Allah swt. pasti berbeda.”

Ahmad al-Juralry berkata, “Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekadar ucapan tentang tauhid saja.”
Al-Junayd ditanya seputar tauhid, jawabnya, “Menunggalkan Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan Keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalahYang Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dm keserupaan tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambaran dan tamsil. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Al-Junayd berkomentar, “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal tauhid, al-Junaid menjawab, “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan di dalamnya terkandung sejumlah ilmu, Sedangkan Allah sebagaimana Ada-Nya.”

Al-Hushry berkata, “Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima hal: Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkanYang Qadim; menghindari teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan apa yang diketahui dan tidak, “Manshur al-Maghriby berkata, “Tauhid adalah menggugurkan seluruh perantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada perantara itu disisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah celaka atau bahagia.”

Al-Junayd ditanya soal tauhidnya kalangan khusus. Ia berkata, “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Allah swt.; dimana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Allah swt. Sebagaimana kehendakNya: yaitusang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga ia sebagAlmma adanya, sebelum dirinya ada.”
Al-Busyanjy ditanya tentang tauhid, “Tidak adanya keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat,”jawabnya.
Sahi bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt, Dia menjawab, ‘Dzat Allah swt, disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa diterka melalui jangkauan, tidak terlihat mata di dunia. Allah swt. Maujud melalui kebenaran iman, tanpa di batasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang di akhirat nanti, yang tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya.

Mahluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. Menujukan melalui ayat-ayat-Nya. Hati mengenai-Nya, sedangkan akal tidak menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan matahati tanpa adanya jangkauan dan penemuan ujungnya.

Al-junayd berkata, “kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a
Maha suci Dzat yang tidak menjadikan jalan bagi mahluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya.
Al-junayd mengomentarinya, “Dimaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a bahwa Allah swt. Itu tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang di maksud dengan tidak berdaya, adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu juga orang ‘arif (mengenal Allah swt) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud sufi. ‘Marifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah sifat langsung. Ma’rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma’rifat itu mencapAl hakikat.’ Ash-Shiddiq r.a. sedikit pun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu.”

Al-junayd berkata, “tauhid yang dianut secara khusus oleh para sufi adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadist, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutuskan segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.
Yusuf ibnul Husain berkata, “Siapa yang tercebur dalam semudera tauhid, tidak akan bertambah waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.
Ada seseorang berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur, “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaum sufi?” Husain menjawab, “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh apa pun.”

Al Junayd berkata, “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.” Al-Junayd berkata pula, “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak dua puluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya.”

Dulaf asy-Syibly berkata, “Siapa yang melihat sebiji sawi ilmu tauhid, la akan lunglAl membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata, “Celaka Anda! Siapa yang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratnya pada tauhid, berarti ia penyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa saja yang merasa menemukanNya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri.”

Yusuf ibnul Husain berkata, “Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya.
Seakan-akan ia berdiri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturanNya dan hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya Al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya. Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa la hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt.”

Dikatakan, “Tauhid hanya bagi Allah swt, sedangkan makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan, “Tauhid berarti menggugurkan 'keakuan’, karenanya jangan bicara: 'bagiku, denganku, dariku dan kepadaku’.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya, ‘Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab, “yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata, “Tauhid berarti melebur unsur-unsur kemanusiaan dan manunggal dengan Ketuhanan.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelang akhir hayatnya, di saat sakitnya mulai parah, “Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu ketentuan hukum.” Kemudian beliau berkata seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “yaitu' Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-sepotong, sedang anda tetap bersyukur dan memuji.”

Asy-Syibly berkata, “Tak akan mencium bau tauhid, orang yang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’idAhmad al-Kharraz berkata, “Tahap mula bagi orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Allah swt.”

Asy-Syibly berkata pada seseorang, “Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly, “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda.”

Ibnu Atha’ berkata, “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Satu.”
Dikatakan, “Pada diri manusia ada segolongan yang dalam tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al- Jam’ra) secara batin melalui batin. Dan lahiriahnya, melihat lewat deskripsi keragaman.”

Al Junayd ditanya tentang tauhid, “Aku mendengar orang bersyair:
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana
kami ada
Ditanyakan kepada Al-junayd, “Keahlian anda (di bidang) Al-Qur’an dan Hadist?” Al-Junayd menjawab, “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dari ucapan terendah dan teringan.
Read More..

PERBUATAN BARU SAHABAT

Perbuatan Baru yang Dilakukan Sahabat pada Zaman Nabi SAW

Ada beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau

dibukakan pintu-pintu langit untuknya.

Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji­Nya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.

Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu­pintu langit telah dibukakan untuknya.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu­gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-­doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji­-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang­ orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al­lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
(Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?")
Read More..

PERNIKAHAN DINI (sebuah refleksi)

Masalah Pernikahan Dini

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi

seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.

Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.

Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.

Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.

Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.

Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.

Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.

Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.

Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Read More..

PRAKTIK BID'AH PARA SAHABAT NABI

Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat

Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

"Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun." (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum

dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bid?ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".

b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?

Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.


Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"
Read More..

SYAIKH ZARUQ TENTANG BID'AH

Fasal tentang Bid'ah

Ada pendapat tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah.
Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
Read More..

Tuesday, March 17, 2009

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup yang diajarkan oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren, madrasah atau sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan, khususnya kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari amal keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan
ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan Aswaja itu sendiri. Banyak juga yang berkutat pada pemahaman Aswaja secara teoritik tapi tidak masuk ke dalam substansi Aswaja itu sendiri. Banyak yang hanya mengklaim diri sebagai kelompok Aswaja tapi tidak mengamalkan ajaran Aswaja itu sendiri.

Demikian Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan sesepuh Nahdliyin KH Muchit Muzadi saat berbincang dengan A Khoirul Anam dari NU Online bersama Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Wafa Patria Ummah dan dua kru majalah Reg@nita PP IPPNU, Ummu Sofiyah dan Durrotun Aniqoh, di sela sela ucara Puncak Peringatan Hari Lahir (Harlah) Ke-82 NU di Jakarta, Sabtu (2/2). Berikut kutipan lengkapnya:

Sebenarnya apakah Aswaja itu?

Secara umum Aswaja itu ya mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, melalui praktek-praktik yang dilakukan para Sahabat Nabi, tabiin, mujtahidin, imam madzhab, dan seterusnya. Dan itu sudah kita praktikkan sehari-hari. Aswaja itu berisi ajaran tauhid, fikih, tasawuf, dan seterusnya. Kita tidak sadar bahwa itu sudah Aswaja.

Oleh karena itu jadinya kita sering salah faham sehingga perlu membuat bidang studi khusus bernama Aswaja itu. Bidang itu biasanya mengenai sejarah Aswaja, asal usulnya dan seterusnya. Padahal sesungguhnya materi atau substansi Aswaja sudah kita pelajari di madrasah, di pesantren, di sekolah-sekolah terutama yang masih menggunakan kitab-kitab kuning yang kita sebut dengan kutubul mu’tabarah, kitab-kitab yang muktabar.

Katakanlah ketika kita belajar fikih mengenai sholat bahwa arkanus sholati sab’ata asyara (rukun shalat ada 17 acam) itu sesungguhnya itu sudah bagian dari materi fikih Aswaja. Ketika kita mempelajari furudul wudlu sittatun (wudlu itu harus mengerjakan 6 perkara) itu ADALAH bagian dari fikih Aswaja. Ketika kita belajar sifat sifat wajib Allah yang 20 itu berarti kita sedang memperlajari Aswaja di bidang tauhid. Ketika kita memperlajari akhlak, bahwa para sahabat itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasul yang punya kesibukan khusus di dalam proses pewarisan ajaran Islam itu namanya juga Aswaja.

Ketika kita memperlajari bahwa sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali atau khulafaur rasyidin, orang-orang yang terbaik di antara sahabat itu sudah termasuk ajaran Aswaja. Ketika kita mempelajari bahwa tawadlu (rendah hati) itu bagus tapi takabbur (sombong, angkuh) itu jelek berarti kita sedang mempeklajari Aswaja di bidang ahlak.

Jadi, selama ini yang dipelajari secara khusus dalam materi Aswaja itu sebenarnya bukan Aswaja?

Selama ini bukan masalah isi dari ajaran Aswaja itu yang kita anggap sebagai Aswaja. Materi Aswaja itu baru kita anggep aswaja kalau kita bicara Imam As’ary, Imam Maturidi, dan lainnya. Padahal sesungguhnya ajaran yang dipelopori oleh imam asy’ary atau oleh imam Maturidi yang diajarkan kepada murid-muridnya kemudian sampai Imam Sanusi yang kemudian beliau merumuskan sifat wajib Allah yang 20 itu kita sebenarnya hanya sampai hanya kepada itu saja, tidak sampai kepada semuanya.

Saya itu termasuk orang yang sering diundang oleh IPPNU, IPNU , PMII Ansor, untuk menyampaikan materi mengenai Aswaja. Biasanya saya hanya menerangkan tentang sejarah Aswaja. Tetapi materi Aswajanya itu sendiri tidak sempat saya sampaikan karena memang waktunya terbatas dan isi aswaja itu begitu luas mulai dari masalah akidah, kepercayaan, fikih, tasawuf.

Saya selalu mengkampanyekan bahwa aswaja itu begitu. Ini yang menurut saya sangat penting diingat. Aswaja selama ini kita asnggap terpisah dari apa yang selama ini kita pelajari. Ini menurut saya satu kekeliruan, yang perlu kita benahi. Saya tidak biacara kesalahan, tapi kekeliruan.

Banyak golongan yang menganggap diri paling Aswaja?

Sebenarnya tidak penting kita itu kelompok Aswaja apa tidak, yang penting kita sendiri berakidah Aswaja, bersyariat Aswaja, berakhlak Aswaja.

Makanya kita tidak perlu memasalahkan Aswaja secara teoritis yang intelektualistis. Misalnya KH Said Aqil Siradj meributkan apakah Aswaja itu madzab aqwal, pendapat-pendapat yang sudah mapan, apa metode berfikir atau manhajul fiqr, sialakan itu urusannya Pak Said dengan orang-orag yang pintar-pintar itu, wong nanti juga ujung-ujungnya akan kembali ke aqwal. Tapi kalau urusan saya bersama anak-anak IPPNU, IPNU, PMII, Ansor itu bagaimana Aswaja itu yang sudah kita pelajari selama ini. Setidaknya kita sadar bahwa ajaran Aswaja telah kita ketahui, kita yakini, dan kita amalkan. Jadi kita tidak berputar-putar dalam bayangan teori saja.

Selama ini saya sadar bahwa selama ini saya bercerita soal Aswaja itu ikut-ikut pengaruh saja, jadi ngeleang gitu, mengawang.

Bagaimana mensosialisikan pemahaman seperti ini?

Menurut saya, sekarang ini kita tidak usah muluk-muluk. Bayangkan pada tahun 1955 ketika NU itu berpisah dari Masyumi yang semula jadi satu. Ini kan kita mulai ngomong apa bedanya NU dan Masyumi. Waktu itu, kita tarik orang-orang Masyumi untuk jadi NU atau orang NU yang jadi masyumi untuk kembali ke NU. Bahkan orang yang nggak tahu NU dan masyumi kita untuk menjadi Masyumi. Sulit sekali waktu itu, terutama di daerah Tuban, Jawa Timur, yang agamanya kurang kuat, NU-nya belum tampak sama sekali. Saya katakan NU itu beda dengan Masyumi dan lebih baik, supaya mereka mau pilih NU. Nah sekarang tidak ada tantangan seperti itu.

Perlu disosialisasikan bahwa NU itu ya Islam yang biasa-biasa saja. Kalau yang ada yang meninggal diselameti. Dulu kita ngomong tahlil itu saja harus hati-hati karena tidak mengerti tahlil, ngertinya selamatan. Tapi sekarang tidak ada tantangan seperti itu.

Jadi beda antara model dakwah Wali Songo dan lembaga dakwah Islam Indonesia. Wali Songo itu dakwanya menyentuh dan difahami oleh orang. Berbeda dengan yang mereka yang mengaku memurnikan Islam anti TBC, taklid, bid’ah, khurofat. Ternyata yang mengerti dan mengikuti itu hanya satu-dua orang. Umat di bawah tetep selamatan. Jadi menurut saya yang penting adalah pendekatannya bagaimana.

Banyak kader NU sendiri yang justru tidak mengerti dalil-dalil amaliyah Aswaja, terutama disadari setelah jadi mahasiswa, sehingga banyak yang kemudian pindah aliran?

Dulu itu cara kita menerangkan ajaran Aswaja ya memakai alat kitab kuning. Tapi sekarang yang ada hanya kitab paket Departemen Agama yang banyak nggak nyebut masalah talkin mayyit dan lain-lain yang menjadi amaliyan NU. Bahkan malah ditutup-tutupi terutama pada masa Orde Baru, saat Departemen Agama dikuasai non-NU. Sekarang cuma ada beberapa madrasah saja yang tetap ada kitab kuning. Jadi sudah terlanjur begitu. Makanya kita perlu menggiatkan program semacam Training or Trainer (ToT), pelatihan untuk para pelatih Aswaja di kalangan IPPNU, IPNU, PMII atau Gerakan Pemuda Ansor. Dan pemahaman mengenai Aswaja harus lebih ditekankan pada isinya, bukan sejarahnya atau teorinya saja.
KH MUCHIT MUZADI
Read More..

Monday, March 16, 2009

PENDETA ITALIA MASUK ISLAM

Usai Menyaksikan Jenazah Raja Fahd, Seorang Pendeta Italia Masuk Islam


Sabtu, 20 Agustus 05 Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.

Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.

Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.

Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.

Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”

Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”

Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…
Read More..

Memuliakan MAULID Nabi Muhammad SAW

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Ketika memasuki bulan Rabiul Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian­ pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.

Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:

"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :

Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:


Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)

Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember
Read More..

Saturday, March 14, 2009

TERMINOLOGI TAHLIL

Pengertian Tahlil dan Kalimatnya

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ


“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH. Nuril Huda
Ketua Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU)

---

Kalimat Tahlil

التهليل

اِلَى حَضَرة النَّبي المصطفى سيدنا ومولانا محمد صلى الله عليه و سلم والى أرواح أبآئه وذرياته وإخوانه وأخواته من النبيين والمرسلين وآلهم وأصحابهم أجمعين والتابعين وتابع التابعين لهم بإحسان الى يوم الدين. الفاتحة

ثم الى أرواح الأئمة الأربعة المجتهدين ومقلديهم فى الدين، والى أرواح العلماء العاملين والشهداء والصالحين والأولياء أينما كانوا من مشارق الأرض و مغاربها فى برها وبحرها وبلادها وجبالها وأوديتها، خصوصا الى حضرة الشيخ عبد القادر الجيلانى رضي الله عنهم أجمعين أعاذ الله علينا من بركاتهم وكراماتهم فى الدنيا و الأخرة لهم الفاتحة

ثم الى حضرة آبائنا و أمهاتنا وأجدادنا وجداتنا وأخوالنا وخالاتنا وأعمامنا وعما تنا ومشايخنا و مشايخ مشايخنا والى أرواح جميع المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات -خصوصا الى حضرة____ - الفاتحة

بسم الله الرحمن الرحيم * قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ *-3

لاإله إلا الله والله اكبر- بسم الله الرحمن الرحيم* وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ * مِن شَرِّ مَا خَلَقَ * وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ *وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ * وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ*

لاإله إلا الله والله اكبر- بسم الله الحمن الرحيم* قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ* مَلِكِ النَّاسِ* إِلَهِ النَّاسِ* مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ * الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ* مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ*

لاإله إلا الله والله اكبر- بسم الله الرحمن الرحيم* الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ* مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ* إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ* اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ* صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ*

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ*الم* ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ* الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ*والَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ* أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ- وإلـهكم إله وحد لآ إله إلا هو الرمن الحيم. اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ *لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدمِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ*اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ- لِّلَّهِ ما فِي السَّمَاواتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللّهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ* لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ- إرحمن يا أرحمن الرحمين -7

رحمة الله وبركاته عليكم أهل البيت حميد مجيد. إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا. إن الله و ملائكته يصلون على النبي يآأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل أفضل الصلاة على اسعد مخلوقاتك نور الهدى سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد، عدد معلوماتك ومداد كلماتك كلما ذكرك الذاكرون وغفل عن ذكرك الغافلون. اللهم صل أفضل الصلاة على اسعد مخلوقاتك شمس الضحى سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد، عدد معلوماتك ومداد كلماتك كلما ذكرك الذاكرون وغفل عن ذكرك الغافلون. اللهم صل أفضل الصلاة على اسعد مخلوقاتك بدر الدجى سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد, عدد معلوماتك ومداد كلماتك كلما ذكرك الذاكرون وغفل عن ذكرك الغافلون. وسلم ورضى الله تعالى عن ساداتنا أصحاب رسول الله أجمعين. وحسبنا الله ونعم الوكيل, نعم المولى ونعم النصير. ولا حولا ولا قوة الا بالله العلي العظيم.

استغفر الله العظيم -3

أفضل الذكر فاعلم أنه لآاله الا الله حي موجود. لآ اله الا الله حي معبود. لآ اله الا الله حى باق. "لآ اله الا الله" -100

اللهم صل على محمد اللهم صل عليه وسلم. -3

سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم.-3

اللهم صل على حبيبك سيدنا محمد و على اله و صحبه وسلم -3أجمعين.


الدعاء


أعوذ بالله من الشيطان الرجيم, بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين, حمد الشاكرين حمد الناعمين حمدا يوافى نعمه ويكافىء مزيده, يا ربنا لك الحمد كما ينبغى لجلال وجهك وعظيم سلطانك, اللهم صل وسلم على آل سيدنا محمد, اللهم تقبل وأوصل ثواب ما قرأناه من القراءن العظيم وما هلّلناه وما سبّحناه وما استغفرناه وما صلّينا على سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم وما تصدّق به صاحب هذه الحاجة هدية وسيلة ورحمة نازلة وبركة شا ملة الى حضرة حبيبنا وشفيعنا وقرة أعيننا سيدنا ومولانا محمد صلى الله عليه وسلم وآله واصحابه والأنبياء والمرسلين والأولياء والشهداء والصالحين والقطباء والأبدال والعلماء العاملين والمصنفين المخلصين وجميع المجاهدين فى سبيل الله رب العالمين والملائكة المقربين حصوصا سيدنا الشيخ عبد القادر الجيلانى، ثم الى جميع اهل القبور من المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات من مشارق الأرض ومغاربها فى برها وبحرها خصوصا آبآءنا و أمها تنا واجدادنا وجداتنا ونخصّ خصوصا من اجتمعنا هنا بسببه ولأجله المغفور له/لها_____ اجعل اللهمّ ثواب ذلك فداء لهم من النار وسببا لدخولهم الجنة مع الابرار، اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه، اللهم اغفرلهم وارحمهم وعافهم واعف عنهم، اللهم انزل الرحمة والمغفرة على اهل القبور من المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات اللهم ارفع لهم الدرجات وضعف لهم الحسنات وكفر عنهم السيئات برحمتك يا ارحم الراحمين، ربنا أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار، اللهم اجعل جمعنا هذا جمعا مرحوما وتفرقنا من بعده تفرقا معصوما ولا تجعلنا شقيا ولامطرودا برحمتك ياارحم الراحمين. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آلـه وصحبه وسلم سبحان ربك رب العزة عما يصفون، وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين، الفاتحة.
Read More..

WIRID DAN KALIMATNYA

Wirid dan Kalimatnya

Wiridan itu maksudnya membaca bacaan tertentu setelah shalat. Jika dikumpulkan semuanya ada puluhan macam. Tapi kalimat pokoknya hampir sama. Tentu ada lafadl:

سُبْحَانَ اللهُ, الحَمْدُ ِللهِ, اللهُ أكْبَرُ

Mukaddimahnya bisa panjang, juga penutupnya. Hal itu berdasarkan pelajaran yang diperoleh dari kiai atau guru dari santri yang bersangkutan.

Mengenai cara mewiridnya, orang NU biasanya memilih dengan suara keras yang dituntun oleh seorang imam. Imam dapat mengaji santri yang belum hafal dan dilakukan 5 kali setiap hari atau lebih.

Diriwayatkan dari Sahabat Tsauban, berkata, bila usai mengerjakan shalat, Rasulullah SAW membaca istigfar 3 kali


أسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ

lalu membaca:

اللّهُمَّ أنْتَ السَلام وَمِنْكَ السَّلام تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلالِ وَالإكْرَامِ

(HR Muslim)


Hendaknya memang wiridan tidak dibaca terlalu keras jika masih ada yang mengerjakan shalat atau tidur agar tidak mengganggu. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan di pesantren santri yang terlambat melalukan shalat (makmum masbuq) tidak terlalu banyak, dan tetap mengucapkan wirid dengan suara keras akan sangat bermanfaat buat santri yang lainnya.

Para ulama membolehkan imam membaca wirid atau doanya dengan suara keras bila imam bermaksud mengajarkannya kepada para santri atau makmum. (Lihat Mugnî al-Muhtâj I, hal. 182).

Dikisahkan, Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)


KH Munawir Abdul Fatah
Krapyak, Yogyakarta (sumber NU Online/ http://www.nu.or.id)

adapun kalimat wirid sesudah sholat yang sering digunakan sebagai berikut:

أستغفر الله العظيم لى ولوالدى وللأصحاب الحقوق والوصيات عليها ولجميع المؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات *3
اللّهُمَّ أنْتَ السَلام وَمِنْكَ السَّلام واليك يعود السلام وحينا ربنا بالسلام وادخلنا الجنة دار السلام تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلالِ وَالإكْرَامِ
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ (١) ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٢) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ (٣) مَـٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ (٤) إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ (٥) ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٲطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (٦) صِرَٲطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (٧

اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

الهى رب انت مولنا : سبحنا الله *33
سبحنا الله العظيم - الحمد لله *33
الحمد لله رب العالمين - الله أكبر*33
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحنان الله بكرة واصيلا لا اله الا الله وحده لاشرك له له الملك وله الحمد يحيى ويميت وهو على كل شيئى قدير
استغفر الله العظيم *3 ان الله غفور الرحيم
افضل الذكر فاعلم انه - لا اله الا الله *100
لا اله الا الله محمد الرسول الله صلى الله عليه و سلم.

الدعاء
---------------


Kontributor : aan (NU mesir Org) Read More..

my father

my father

me and mr. cipto

me and mr. cipto

gunung kelud

gunung kelud