Tuesday, April 28, 2009

TAWASSUTH, TAWAZUN, I'TIDAL DAN TASAMUH

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan

. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung¬jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al--muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.


KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Read More..

Monday, April 13, 2009

SANG PENCINTA

Sang Pencinta (Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany)

Siapa yang melihat orang yang mencintai Allah Azza wa-Jalla
maka orang itu telah melihat orang yang melihat Allah Azza wa-
Jalla dengan hatinya dan masuk dengan rahasia hakikat jiwanya.
Tuhan kita Azza wa-Jalla adalah yang Maujud dan "Terlihat".

Nabi SAW bersabda:
“Kalian akan melihat Tuhan
kalian sebagaimana kalian melihat matahari dan bulan, sama
sekali tidak bisa disembunyikan
penglihatan dalam pandangannya.”
Sekarang (di dunia) Allah dilihat melalui matahati, sedangkan
besok (di akhirat) dengan mata kepala.
“Tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupainNya, dan Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Para pecinta senantiasa ridlo hanya kepadaNya, bukan lainNya.
Mereka memohon pertolongan hanya kepadaNya dan membatasi yang
lainNya. Kepedihan faqir adalah kemanisan bagi mereka, lebih
daripada meraih RidloNya, mendapatkan nikmat dariNya.
Kecukupan mereka pada kefaqiran mereka, kenikmatan mereka pada
duka mereka, kemesraan mereka pada gentarnya mereka. Rasa dekat
mereka pada jauh mereka, istirahat mereka pada beban mereka.
SuNgguh baik dan indah bagi mereka wahai yang bersabar, wahai
yang ridlo, wahai mereka yang fana dari nafsunya dan hawa
nafsunya.
Wahai orang-orang sufi, berselaraslah kalian dengan Allah swt
dan ridlolah kepadaNya atas Af’alNya yang diberikan padamu dan
sesamamu. Janganlah kalian semua mengajariNya dan merekayasa
dengan akalmu kepadaNya, karena Dia lebih mengerti dari dirimu.
“Allah Maha Tahu sedangkan kalian tidak mengetahuinya.” (Al-
Baqarah: 216)
Berhentilah di hadapanNya dengan jejak-jejak kekosongan dari
akal dan pengetahuanmu serta ilmumu, agar kalian meraih
ilmuNya. Biarkanlah dirimu dan jangan memilih, biarkan dirimu
agar Dia memilihkan pengetahuanNya padamu. Membiarkan diri,
lalu meraih pengetahuan, kemudian sampai pada yang diketahui,
lalu sampai pada tujuan.
Awalnya adalah kehendak, kemudian meraih maksud kehendak.
Beramallah, sesungguhnya aku hanyalah pemintal tali, dimana aku
memintal tali kalian yang putus. Aku tidak punya sedikit pun
kepentingan kecuali semua ini adalah kepentinganmu. Aku tak
pernah susah kecuali susahmu. Aku terbang kemana pun kalian
jatuh aku temukan.
Yang terpenting bagi kalian adalah batu-batu yang terlontarkan,
wahai orang yang hanya duduk-duduk, penuh dengan benan berat
yang ditimbun oleh nafsu dan terikat oleh kesenangan nafsumu.
Ya Allah rahmati aku dan rahmati mereka.
Read More..

Tuesday, April 7, 2009

PERDAMAIAN DUNIA DENGAN SUFISME

KH. Luqman Hakim
Menyongsong Perdamaian Dunia dengan Sufisme Islam

Dunia sufi, sebagai inti sari Islam, sebenarnya berpotensi besar untuk berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia. Dengan menyelami sufisme, umat Islam diharapkan tidak lagi mencerna suatu masalah dari apa yang tampak di permukaan, tetapi dapat memandang segala sesuatunya dari sisi hakikat. "Melalui sufisme, manusia diajak untuk berserah diri secara total kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa," ujar KH Luqman Hakim (46)
, pembimbing dan pengajar dunia sufi di Jakarta.

Bagi sufisme, proses menjalani takdir kehambaan merupakan hal penting. Ketika nilai-nilai sufisme sudah dipraktikkan dalam diri, seseorang bisa menjadi semakin spiritualis. "Ia tidak lagi akan kaku di dalam memandang segala persoalan," tutur Kiai Luqman, yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sufi serta jadi pengasuh majelis pengajian sufi di Jabodetabek. Kelenturan di dalam memandang suatu persoalan itulah yang pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi bagi upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia.

SP berkesempatan berbincang dengan KH. Luqman Hakim di The WAHID Institute, seusai pengajian "Sufi Islam dan Perdamaian Dunia" yang diselenggarakan untuk menyambut ulang tahun ke-4 The WAHID Institute, Senin (8/9) malam.

Apa inti sari pengajaran di dunia sufi, berikut wawancara khusus SP dengan KH. Luqman Hakim, sang mursyid sufisme.

Mengapa tertarik menekuni sufisme?
Sufisme adalah pilihan yang tidak ditekuni banyak orang. Dunia sufi itu sebenarnya soal nucleus, yakni inti sari Islam itu sendiri. Spiritnya. Kami mencoba membangun sumber-sumber air yang lebih jernih di Jakarta sebagai wilayah perkotaan, supaya keterasingan seseorang dalam kehidupan per- kotaan tidak membikin dia kian gersang secara spiritual.

Ada ayat yang sering dikutip kaum pluralis, yakni, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat:13)".

Isilah li ta'arafu dalam ayat itu maknanya banyak sekali. Tetapi, dalam perspektif sufi, li ta'arafu bukan sekadar kenal-mengenal dan saling mencerdaskan, melainkan juga saling mengenalkan kemakrifatan Allah kepada sesama.

Untuk mengatasi kegersangan jiwa, apa yang bisa dilakukan dengan sufisme?
Ketika jiwa gersang, manusia sedang melesat keluar dari orbit spiritnya. Dia mencoba membangun kerajaan sendiri, atau planet-planet sendiri, di dalam hidup ini. Manusia kemudian terlepas dari fitrahnya.

Dunia sufi adalah dunia paling primordial dalam spirit dunia Islam, yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang kemudian disempurnakan para sufi. Saya hingga sekarang masih optimistis, nilai-nilai sufistik adalah nilai-nilai yang bisa mendamaikan dunia. Sebab, sufi memandang segala sesuatu tidak dengan kaku. Misalnya, kotoran bagi orang-orang syariat tentu dipandang sebagai najis yang harus disingkirkan. Tetapi, sufi tidak memaknai kotoran cuma dengan cara seperti itu. Bagi penganut sufisme, kotoran tidak semata-mata dipandang najis, tetapi bisa juga untuk pupuk.

Bisa disimpulkan sufisme memandang segala sesuatu tidak dari tampilan permukaan, tetapi dari hakikat?
Dalam wacana sufi ada pengungkapan yang berbunyi semacam ini, "Cahaya para sufi mendahului wacananya". Sementara itu, para ulama cenderung punya pendekatan, "Wacana para ulama dan cendekiawan mendahului cahayanya". Jadi, para sufi berpendapat, bukan karena adanya dorongan 'oh, enaknya saya berkata seperti itu' lalu ia berkata seperti itu, tetapi memang karena sudah seharusnya ia berbicara seperti itu.

Munculnya wacana menjadi bagian sistematik kosakata yang bergantung pada kebiasaan-kebiasaan intelektual seseorang. Kalau dia seorang penyair, kalimat-kalimatnya menjadi syair yang indah. Wacana hanya menjadi semacam screen.

Banyak ulama berpendapat, tasawuf hendaknya didalami jika telah memiliki fondasi syariat yang kuat. Anda sepakat?
Sufisme tidak melakukan pemosisian semacam itu. Manusia kenyataannya adalah satu kesatuan organisme, sehingga baik hakikat maupun syariat, harus berjalan berbarengan. Bagi sufi, manusia mempunyai aspek lahiriah dan batiniah. Apabila berpuasa, misalnya, kita harus ikhlas. Salat juga harus khusyuk. Bagi saya, sufisme berada di wilayah khusyuk, ikhlas, dan rela.

Mendalami sufisme tidak harus dihadapkan pada persoalan manakah yang harus didahulukan, apakah hakikat ataukah syariat. Maka, dibutuhkan seorang mursyid, sang pembimbing yang bisa menata perilaku pertumbuhan batin seseorang dengan Tuhannya, Allah. Di bawah bimbingan seorang mursyid, diharapkan tidak ada konflik antara pikiran dan hati.

Tetapi, bagaimana kita bisa mendalami hakikat sesuatu apabila syariat saja belum sempurna dilaksanakan?
Sepanjang manusia masih terikat ruang dan waktu, aspek lahiriah berupa pelaksanaan syariat memang harus semacam itu. Kalau manusia tidak kenal ruang dan waktu, oleh syariat dia tidak diwajibkan. Misalnya, orang gila, pingsan, atau tertidur, tidak diwajibkan salat.

Kesadaran ruang dan waktu pasti hubungannya dengan aspek fisikal. Tuhan mewajibkan orang salat karena manusia masih berada di dunia. Alam fisikal semesta ini bergantung pada orang salat. Tidak heran apabila ada ungkapan bahwa kiamat akan ditunda sepanjang ada manusia masih menyeru, "Allah, Allah, Allah!"

Salat berbentuk sujud dan rukuk karena memiliki makna-makna luar biasa yang berhubungan dengan gerak-gerik kosmologis dan astrologis, yaitu semesta raya ini. Kalau umat Islam sepakat, bahwa untuk selama satu jam seluruh umat Islam di bumi ini berhenti salat, saya yakin planet-planet di seluruh alam semesta ini akan bertubrukan. Sebab, salat memang aspek lahiriah yang harus ditunaikan. Sufisme itu sendiri hanya ingin mengantarkan, supaya ketika orang salat secara lahiriah, batin dia juga harus ikut salat.

Pencapaian apa yang diharapkan bisa diraih dengan mendalami sufisme?
Sufisme sebenarnya hanya untuk memosisikan kembali bahwa kita, manusia, adalah hamba dengan segala haknya, dan Allah adalah Tuhan dengan segala hak-Nya. Jadi, jangan sampai ada lagi pertanyaan ketika manusia menghadap Tuhan nanti. Sebab, ketika besok kita menghadap Allah, tidak akan ada lagi pertanyaan dari diri kita begitu sampai di hadapan Dia. Yang ada hanya "bengong abadi" dalam transformasi kenikmatan yang terus-menerus.

Penyadaran-penyadaran itu perlu mendekonstruksi cara pandang kemudian. Misalnya, mayoritas umat Islam selalu mengandalkan amal kebajikan. Seakan-akan amal kebajikan itu paspor untuk masuk ke surga. Dunia sufi membongkar hal-hal semacam itu. Dinolkan kembali. Jadi, yang diandalkan manusia itu seharusnya yang menciptakan amal kebajikan, yakni Allah. Yang diandalkan bukanlah amal kebajikan semata.

Penyerahan diri secara total kepada Tuhan apakah tidak cukup dilakukan dengan syariat?
Tidak. Ada kalimat Imam Maliki yang mengatakan, "Siapa yang melakukan syariat tanpa tasawuf, dia bisa fasik". Artinya, dia menjadi orang yang keras kepala, sombong, merasa paling hebat dan benar sendiri. Sebaliknya, "Siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat, dia akan zindiq". Di situ, kehadiran Tuhan hanya dipersepsikan secara kebatinan belaka. Cuma semata-mata berbekal eling. Sufisme berupaya memosisikan kembali, bahwa jika manusia mengenal Tuhan itu Maha Esa, maka apa hubungan diri dia dengan keesaan Tuhan itu sendiri.

Saya berpendapat, sufisme mengalami penyimpangan kalau dia meninggalkan syariat. Memang, ada orang yang kelihatan tidak bersyariat. Tetapi, hal itu karena dia sudah melesat dari batasan-batasan ruang dan waktu. Ada suasana ekstase. Tetapi, suasana ekstase itu pun merupakan proses, dan bukan sesuatu yang bersifat final.

Bagaimana sufisme Islam bisa berkontribusi bagi perdamaian dunia?
Sufisme adalah salah satu nilai yang kalau dipraktikkan seseorang, maka dia bisa semakin spiritualis apa pun profesinya. Sebab, di dalam sufisme, ada proses perlawanan terus-menerus terhadap diri sendiri. Dari sinilah seseorang membangun paradigma atau cara pandang hidup yang sering kali jadi berbeda.

Ada berbagai nilai yang ingin saya kembangkan dalam literatur-literatur komunitas sufi, misalnya "Doa lebih utama daripada dikabulkan", "Berjuang lebih utama daripada sukses", dan "Beribadah lebih utama daripada pahala". Sebab, orang-orang sering hanya mencari ijabah, pahala, dan sorga. Itu semua adalah nafsu. Bagi sufisme, yang terpenting adalah proses menjalani takdir kehambaan.

Dari sudut pandang sufisme, bagaimana Anda memandang umat Islam di Indonesia saat ini?
Ada posisi umat Islam di negara ini yang mirip orang "kebelet" mau ke kamar kecil. Saking tidak sabaran, ia menggedor-gedor pintu. Islam "kebelet" ini dengan modal pengetahuan dia yang sedikit tentang Islam, ingin agar segala sesuatunya selesai atas nama Islam.

Nah, setelah masuk ke bilik air, ada yang namanya Islam "ngeden" (mengejan, Red). Ia paksakan segala sesuatunya atas nama Islam, tetapi sesungguhnya itu nafsu belaka.

Para sufi sering kali menganjurkan anekdot itu. Ketika ingin menghadap Tuhan, jangan kita seperti orang "ngeden". Orang yang sangat ingin cepat selesai, kepingin instan. Ada ayat yang sering diklaim oleh para penganut Islam "kebelet" ini, yaitu "Masuklah Islam secara kaffah". Tetapi, bagi para sufi, lebih tepat jika anjuran yang disampaikan kepada manusia adalah "Masuklah ke dalam perdamaian secara total".

Mengapa konflik kekerasan banyak terjadi di negara-negara Islam, padahal tidak sedikit di antara mereka yang mengenal sufisme?
Harus diingat, perdamaian semu juga sedang berkembang pesat. Artinya, perdamaian hipokrit. Seakan-akan ada perdamaian. Ini sama halnya dengan demokrasi semu, yakni seakan-akan berdemokrasi. Di dunia Islam juga ada hal-hal semu semacam itu. Maka, saya cenderung menyebutkan, "Masuklah dalam perdamaian secara total", dan bukannya "Masuklah dalam Islam secara kaffah (total, Red)".

Di sini, paradigma perdamaian dalam dunia sufi mengacu pada perilaku. Sebab, hal ini yang akan membangun sebuah peradaban atau kultur. Hal ini harus dibangun melalui pendidikan tentang hak-hak kehambaan. Sebab, dengan kesadaran hak-hak sebagai seorang hamba, manusia akan punya "perasaan memiliki", yang pada akhirnya memunculkan perasaan cinta secara terus-menerus bersama Tuhan. Melalui kebersamaan dengan Tuhan, kehidupan secara organis akan proporsional. Kalaupun terjadi sesuatu yang menyangkut tindak kekerasan atau antiperdamaian, semuanya akan diselesaikan dengan cara-cara seperti paradigma sufi.
(Suara Pembaruan, Ahad, 14 September 2008)
Read More..

MANAQIB HABIB ABU BAKAR GRESIK

Habib Abu Bakar as-Seggaf Gresik

Beliau adalah Al-Imam al-Quthbul Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Al-Habib Umar bin Segaf as-Segaf (seorang imam di lembah Al-Ahqof). Garis keturunan beliau yang suci ini terus bersambung kepada ulama dari sesamanya hingga bermuara kepada pemuka orang-orang terdahulu, sekarang dan yang akan datang, seorang kekasih nan mulia Nabi Muhammad S.A.W. Beliau terlahir di kampung Besuki
(salah satu wilayah di kawasan Jawa Timur) tahun 1285 H. Ayahanda beliau ra. wafat di kota Gresik, sementara beliau masih berumur kanak-kanak.

Sungguh al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf tumbuh besar dalam asuhan dan penjagaan yang sempurna. Cahaya kebaikan dan kewalian telah tampak dan terpancar dari kerut-kerut wajahnya, sampai-sampai beliau R.a di usianya ke-3 tahun mampu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu tak lain karena power (kekuatan) dan kejernihan rohani beliau, serta kesiapannya untuk menerima curahan anugerah dan Fath (pembuka tabir hati) darinya.

Pada tahun 1293 H, atas permintaan nenek beliau yang sholehah Fatimah binti Abdullah (Ibunda ayah beliau), beliau merantau ditemani oleh al-Mukaram Muhammad Bazamul ke Hadramaut meninggalkan tanah kelahirannya Jawa. Di kala al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf akan sampai di kota Sewun, beliau di sambut di perbatasan kota oleh paman sekaligus guru beliau al-Allamah Abdullah bin Umar berikut para kerabat. Dan yang pertama kali dilantunkan oleh sang paman bait qosidah al-Habib al-Arifbillah Syeh bin Umar bin Segaf seorang yang paling alim di kala itu dan menjadi kebanggaan pada jamannya. Dan ketika telah sampai beliau dicium dan dipeluk oleh pamannya. Tak elak menahan kegembiraan atas kedatangan sang keponakan dan melihat raut wajahnya yang memancarkan cahaya kewalian dan kebaikan berderailah air mata kebahagiaan sang paman membasahi pipinya.

Hati para kaum arifin memiliki ketajaman pandang
Mampu melihat apa yang tak kuasa dilihat oleh pemandang.

Sungguh perhatian dan didikan sang paman telah membuahkan hasil yang baik pada diri sang keponakan. Beliau belajar kepada sang paman al-Habib Abdullah bin Umar ilmu fiqh dan tasawuf, sang paman pun suka membangunkannya pada akhir malam ketika beliau masih berusia kanak-kanak guna menunaikan shalat tahajjud bersama-sama, al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mempunyai hubungan yang sangat kuat dalam menimba ilmu dari para ulama dan pemuka kota Hadramaut. Sungguh mereka (para ulama) telah mencurahkan perhatiannya pada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Maka beliau ra. Banyak menerima dan memparoleh ijazah dari mereka. Diantara para ulama terkemuka Hadramaut yang mencurahkan perhatiannya kepada beliau, adalah al-Imam al-Arifbillah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, (seorang guru yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf).

Sungguh Habib Ali telah menaruh perhatiannya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf semenjak beliau masih berdomisili di Jawa sebelum meninggalkannya menuju Hadramaut.

Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang murid seniornya "Perhatikanlah! Mereka bertiga adalah para wali, nama, haliyah, dan maqom (kedudukan) mereka sama. Yang pertama adalah penuntunku nanti di alam barzakh, beliau adalah Quthbul Mala al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus, yang kedua, aku melihatnya ketika engkau masih kecil beliau adalah al-Habib al-Ghoust Abu Bakar bin Abdullah al-Atthos, dan yang ketiga engkau akan melihat sendiri nanti di akhir dari umurmu".

Maka tatkala memasuki tahun terakhir dari umurnya, ia bermimpi melihat Rosulullah SAW sebanyak lima kali berturut-turut selama lima malam, sementara setiap kali dalam mimpi Beliau SAW mengatakan kepadanya (orang yang bermimpi) " Lihatlah di sampingmu, ada cucuku yang sholeh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf"! Sebelumnya orang yang bermimpi tersebut tidak mengenal al-Habib Abu Bakar Assegaf kecuali setelah dikenalkan oleh Baginda Rosul al-Musthofa SAW didalam mimpinya. Lantas ia teringat akan ucapan al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dimana beliau pernah berkata "Mereka bertiga adalah para wali, nama dan kedudukan mereka sama". Setelah itu ia (orang yang bermimpi) menceritakan mimpinya kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari gurunya al Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi sampai-sampai Habib Ali sendiri yang meminangkan beliu dan sekaligus menikahkannya. Selanjutnya (diantara para masyayikhnya) adalah al Allamah al Habib Abdullah bin Umar Assegaf sebagai syaikhut tarbiyah, al Imam al Quthb al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi sebagai syaikhut taslik, juga al Mukasyif al Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Quthban sebagai syaikhul fath. Guru yang terakhir ini sering memberi berita gembira kepada beliau "Engkau adalah pewaris haliyah kakekmu al Habib Umar bin Segaf". Sekian banyak para ulama para wali dan para kaum sholihin Hadramaut baik itu yang berasal dari Sewun, Tarim dan lain-lain yang menjadi guru al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, seperti al Habib Muhammad bin Ali Assegaf, al Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, al Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, al Habib Abdurrahman al-Masyhur, juga putera beliau al Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur, dan juga al Habib Syekh bin Idrus al-Idrus dan masih banyak lagi guru beliau yang lainnya.

Pada tahun 1302 H, ditemani oleh al Habib Alwi bin Segaf Assegaf al Habib Abu Bakar Assegaf pulang ketanah kelahirannya (Jawa) tepatnya di kampung Besuki. Selanjutnya pada tahun 1305 H, ketika itu beliau berumur 20 tahun beliau pindah ke kota Gresik sambil terus menimba ilmu dan meminta ijazah dari para ulama yang menjadi sinar penerang negeri pertiwi Indonesia, sebut saja al Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas, al Habib Abdullah bin Ali al-Haddad, al Habib Ahmad bin Abdullah al-Atthas, al Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdlar, dan lain sebagainya.

Kemudian pada tahun 1321 H, tepatnya pada hari jum'at ketika sang khatib berdiri diatas mimbar beliau r.a mendapat ilham dari Allah SWT bergeming dalam hatinya untuk mengasingkan diri dari manusia semuanya. Terbukalah hati beliau untuk melakukannya, seketika setelah bergeming beliau keluar dari masjid jami' menuju rumah kediamannya. Beliau al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ber-uzlah atau khalwat (mengasingkan diri) dari manusia selama lima belas tahun bersimpuh dihadapan Ilahi Rabbi. Dan tatkala tiba saat Allah mengizinkan beliau untuk keluar dari khalwatnya, guru beliau al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi mendatanginya dan memberi isyarat kepada beliau untuk mengakhiri masa khalwatnya, al Habib Muhammad al-Habsyi berkata "selama tiga hari kami bertawajjuh dan memohon kepada Allah agar Abu Bakar bin Muhammad Assegaf keluar dari khalwatnya", lantas beliau menggandeng al Habib Abu Bakar Assegaf dan mengeluarkannya dari khalwatnya. Kemudian masih ditemani al Habib Muhammad al-Habsyi beliau r.a menziarahi al Habib Alawi bin Muhammad Hasyim, sehabis itu meluncur ke kota Surabaya menuju ke kediaman al Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Sambil menunjuk kepada al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi memproklamirkan kepada para hadirin "Ini al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf termasuk murtiara berharga dari simpanan keluarga Ba 'Alawi, kami membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia".

Setelah itu beliau membuka majlis ta'lim dirumahnya, beliau menjadi pengayom bagi mereka yang berziarah juga sebagai sentral (tempat rujukan) bagi semua golongan diseluruh penjuru, siapa pun yang mempunyai maksud kepada beliau dengan dasar husnudz dzan niscaya ia akan meraih keinginannya dalam waktu yang relatif singkat. Di rumah beliau sendiri, al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf telah menghatamkan kitab Ihya' Ulumuddin lebih dari 40 kali. Pada setiap kali hatam beliau selalu menghidangkan jamuan yang istimewa. al Habib Abu Bakar Assegaf betul-betul memiliki ghirah (antusias) yang besar dalam menapaki aktivitas dan akhlaq para aslaf (pendahulunya), terbukti dengan dibacanya dalam majlis beliau sejarah dan kitab-kitab buah karya para aslafnya.

Adapun maqom (kedudukan) al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, beliau telah mencapai tingkat Shiddiqiyah Kubro. Hal itu telah diakui dan mendapat legitimasi dari mereka yang hidup sezaman dengan beliau. Berikut ini beberapa komentar dari mereka.

al Imam al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar berkata,

"Demi fajar dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil. Sungguh al Akh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah mutiara keluarga Segaf yang terus menggelinding (maqomnya) bahkan membumbung tinggi menyusul maqom-maqom para aslafnya".

Al Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad berkata,

"Sesungguhnya al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang Quthb al Ghaust juga sebagai tempat turunnya pandangan (rahmat) Allah SWT".

Al Arif billah al Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pernah berkata di rumah al Habib Abu Bakar Assegaf dikala beliau membubuhkan tali ukhuwah antara beliau dengan al Habib Abu Bakar Assegaf, pertemuan yang diwarnai dengan derai air mata. Habib Ali berkata kepada para hadirin ketika itu,

"Lihatlah kepada saudaraku fillah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Lihatlah ia..! Maka melihat kepadanya termasuk ibadah"

Al Habib Husein bin Muhammad al-Haddad berkata,

"Sesungguhnya al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang khalifah. Beliau adalah penguasa saat ini, belia telah berada pada Maqom as Syuhud yang mampu menyaksikan (mengetahui) hakekat dari segala sesuatu. Beliau berhak untuk dikatakan "Dia hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya (sebagai nikmat)".
di Rabu, Juli 30, 2008 1 komentar
Label: Manaqib
Sabtu, Juli 26, 2008
Al-Habib Umar Bin Hud Al-Attas
Habib Umar Bin Hud Al Athos adalah seorang ulama dan konon beliau juga seorang wali quthub usianya lebih dari 100 tahun dilahirkan di penghujung abad ke 19 di Hadramaut, Yaman Selatan. Sejak usia muda beliau telah datang ke Indonesia. Mula-mula tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat. Beliau berdakwah sambil berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Kemudian membuka pengajian dan majelis maulid di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Sekitar tahun 1950-an, Beliau ke Mekkah dan bermukim selama beberapa tahun dan selama di mekkah beliu menggunakan kesempatan tersebut untuk belajar kepada ulama-ulama setempat. Tapi, sayangnya, saat hendak kembali ke Indonesia, ia tertahan di Singapura.

Pasalnya, pada awal 1960-an terjadi konfrontasi antara RI dan Malaysia, sementara Singapura masih merupakan bagian negara itu. Habib Umar baru kembali ke Tanah Air setelah usai konfrontasi, pada awal masa Orde Baru. Tapi, rupanya banyak hikmah yang diperoleh di balik kejadian tersebut. Karena, selama lebih dari lima tahun di Malaysia dan Singapura, ternyata beliau sangat dihormati oleh umat Islam setempat, termasuk Brunei Darussalam.

Karenanya tidak heran kalau orang menyebut Maulid Nabi yang diselenggarakan Habib Umar di Cipayung sebagai maulid internasional. Maulid ini dihadiri sekitar 100.000 jamaah, termasuk ratusan jamaah dari mancanegara. Untuk perjamuan makanan untuk para jamaah yang menghadiri maulid ini diperlukan ribuan ekor kambing dan berton-ton beras. Kalau ditanya orang dari mana dananya, maka Habib Umar selalu bilang dari Allah.

Sesuatu yang mungkin lain dibandingkan dengan acara-acara maulud di majelis lain adalah, tidak ada ceramah-ceramah setelah baca maulud. Acaranya langsung saja yakni baca maulud, zikir dan ditutup dengan do’a. Tidak adanya ceramah-ceramah yang sudah tradisi sejak lama itu, karena Habib Umar khawatir akan menimbulkan saling serang dan fitnah.

Kegiatan rutin Habib Umar yang lain yang memasyarakat adalah shalat subuh berjamaah di kediamannya di Condet. Setiap hari terdapat sekitar 300 jamaah subuh yang datang. Khusus pada hari Jumat, jamaahnya meningkat menjadi sekitar 1.000 orang. Setiap Sabtu mereka para jama’ah diberikan pelajaran Fiqih sedangkan di Cipayung bogor tiap kamis malam diadakan pembacaan maulid diba' dan yang menarik adalah setelah diadakan kegiatan tersebut para jama’ah dijamu oleh Habib Umar Bin Hud seperti nasi uduk lengkap dengan lauk-pauknya. Habib Umar meninggal dunia pada bulan Agustus 1999 di rumahnya dan dimakamkan di Wakaf al-Hawi dekat dengan pusat perbelanjaan PGC cililtan sesuai dengan wasiat beliau.(salim umar)
di Sabtu, Juli 26, 2008 0 komentar
Label: Manaqib
Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas (Ratib Al-Attas)
Nama beliau adalah Umar bin Abdurrahman bin Agil bin Salim bin Ubaidullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Syeikh al Ghauts Abdurrahman as-Seggaf bin Muhammad Maulah Dawilah bin Ali bin Alawi al Ghoyur bin Sayyidina al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali bin Imam Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidullah bin Imam al Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad an Naqib bin Imam Ali al Uraidhi bin Jaafar as Shadiq bin Imam Muhammad al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Hussein as Sibith bin Imam Ali bin Abi Thalib dan bin Batul Fatimah az-Zahra binti Rasullullah S.A.W.

Asal dinamakan "Al Attas"
Kata al-Faqih Abdullah bin Umar Ba'ubad:"Beliau dinamakan al-Attas yang bermaksud bersin, karena beliau pernah bersin ketika masih berada di dalam perut ibunya". Kata al- Habib Ali bin Hassan al-Attas: "Sebenarnya apa yang diucapkan oleh Syeikh al-Faqih Abdullah bin Umar Ba'ubad adalah benar, hanya saja menurut khabar yang paling benar dikatakan bahwa pertama kali bersin ketika masih berada di perut ibunya adalah Habib Aqil yang terkenal hanya Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, sehingga berita itu hanya dikenal pada diri beliau dan anak beliau dan anak cucu Aqil dan Abdullah, saudara beliau. Sedangkan anak cucu Sayyidina Aqil bin Salim yang lain dikenal dengan nama keluarga Aqil bin Salim".

Berkata al-Habib Ali bin Hassan: "Tidak henti-hentinya didengar dari mereka suara bersin di perut-perut sebahagian ibu waktu demi waktu, sebagaimana yang diberitahukan oleh isteriku, seorang wanita solehah. Syeikha binti Sahal bin Abi Bakar bin Syaiban bin Ahmad bin Ishaq, katanya: "Pada suatu hari sewaktu aku duduk bersama Sharifah Fatimah bin Habib Muhammad Basurah Ba'alawi, waktu itu aku sedang mengandung puteramu yang bernama al Hasan yang pertama, aku terdengar ia bersin ketika ia masih di dalam perutku, aku dan Sharifah Fatimah mendengar suara bersin itu dengan jelas, dan ia dilahirkan pada waktu 1147 H, tetapi ia wafat waktu masih kecil".

Al Habib Ali bin Hussain al-Attas menyebutkan di dalam kitabnya Ta'jul A'raas juz pertama halaman 40. Bahwa di Mekah pernah didengar suara bersin dari anak yang masih di dalam perut ibunya, tentunya kejadian itu termasuk kejadian karamah yang diakui oleh kalangan Ahlu Sunnah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab-kitab Tauhid dan Aqoid mereka beserta dalil-dalilnya yang terkenal yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.

Imam Nawawi pernah menyebutkan di dalam kitabnya Riyaadhus Shalihin di dalam bab al-Karamat. Disebutkan dalam kitab itu sebuah hadith yang memberitakan kisah seorang rahib yang bernama Juraij, yang karenanya Allah menakdirkan seorang bayi berbicara untuk memberikan kesaksian tentang diri Juraij, tentunya bersin ketika seorang bayi masih di dalam kandungan ibunya tidak berbeda jauh dengan seorang bayi yang bisa berbicara setelah ia lahir, kejadian-kejadian semacam ini tidak sulit bagi Allah sebab Allah Maha Kuasa untuk mentakdirkan apa saja yang Dia kehendaki.

Kelahiran dan Tempat Diasuhnya
Beliau dilahirkan di desa Lisk dekat dengan desa Ainat, di bagian bawah negeri Hadhramaut, di akhir abad ke-10, tepatnya pada tahun 992H. Sejak kecilnya beliau diasuh dan dididik oleh ayah beliau sendiri, al-Habib Abdul Rahman bin Aqil. Meskipun mata beliau buta sejak kecil, tetapi Allah memberinya kecerdasan otak dan pandangan hati ( Bashirah ), sehingga beliau mudah menghafal apa saja yang pernah didengarnya.

Ayah beliau, al-Habib Abdul Rahman bin Aqil pernah berkata pada Syeikh Abdurrahman bin Aqil al-Junied Bawazir yang dikenal dengan panggilan al-Mu'allim: "Hendaknya anda lebih banyak memberikan perhatian kepada Umar, kerana kedua matanya tidak dapat melihat". Jawab Syeikh Abdurrahman: "Meskipun kedua mata Umar tidak dapat melihat, tetapi pandangan Bashirahnya dapat melihat, disebabkan hatinya bersinar".

Sejak kecil beliau anak yang tekun beribadah, hidup zuhud berpaling dari dunia dan sejak kecil sudah terlihat tanda-tanda kebesaran pada diri beliau. Sejak kecil, beliau sering ke kota Tarim dari dusunnya Lisk dan melakukan sholat dua rakaat di setiap masjid yang ada di kota Tarim, bahkan kadang menimba air dari sumur untuk mengisi kolam-kolam masjid.

Di masa kecilnya, beliau senantiasa dibimbing oleh ayah beliau dan guru-guru beliau, misalnya al-Habib Hussien, al-Habib Hamid, al-Habib Muhdhor, putra-putra Saiyidina Syeikh Abu Bakar bin Salim yang sering dikunjungi oleh ayah beliau, yaitu al-Habib Abdul Rahman bin Aqil.

di Sabtu, Juli 26, 2008 1 komentar
Label: Manaqib
Al-Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Muhdhar
Beliau lahir di desa Quwairah, Du’an Al-Ayman, Hadramaut pada tahun 1280 H (sekitar 1863 H). Beliau memang sangat dihormati, bukan hanya oleh tokoh yang lebih muda atau seusianya tetapi juga mereka yang lebih tua. Beliau alim ‘allamah yang tampak cahayanya, karena senantiasa berdzikir siang dan malam. Wibawanya demikian tampak bahkan meski kita hanya memandang fotonya saja.

Al Habib Muhammad bin Ahmad Al-Mudhar adalah putra tokoh besar pula, Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar (lahir di Ar-Rasyid Ad-Du’aniyah 1217 H dan wafat tahun 1304 H/sekitar 1886 M). Beliau tumbuh sebagaimana lazimnya anak keluarga Alawiyin dan keluarga ulama pada umumnya. Pertama-tama beliau dididik oleh ayahnya dan membaca kitab kepadanya. Kelebihannya sudah tampak sejak kecil yang membuatnya sangat dusukai oleh ayahnya. Bagi Ayahnya beliau benar-benar penyejuk matanya dan beliau juga sempat dididik oleh kakaknya yaitu Al-Habib Hamid bin Ahmad Al-Muhdhar.

Setelah itu beliau juga mengambil ilmu dari sejumlah guru besar pada masanya terutama kepada Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas yang selalu disertainya baik ketika berada di tempat maupun di dalam perjalanan. Beliau membaca beberapa kitab kepadanya, diantaranya Al-Muhadzdzab. Dalam kitab Tajul A’ras halaman 469, Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas (Habib Ali Bungur) mengisahkan kejadian unik ketika Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar menghatamkan kitab itu pada gurunya tersebut : “Saya membaca kitab Al-Muhadzdzab kepada Al-Walid Ahmad bin Hasan ketika beliau mengunjungi Du’an. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk menyelesaikannya, maka beliau meminta saya menemaninya dalam perjalanan pulang ke Huraidhah untuk menyempurnakannya. Akhirnya saya dapat juga menyelesaikan pembacaan kitab itu pada beliau pada hari keberangkatan kami dari Qaidun. Ketika itu kami berjalan mengendarai dua kuda berdampingan, hal itu adalah kejadian langka yang sungguh merupakan pengalaman yang unik dan menarik.

Sepeninggal sang ayah Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar bersama kakaknya Al-Habib Hamid bagaikan “dua sejoli” yang bahu-membahu menjalani apa yang sebelumnya dilakukan oleh ayah mereka dalam lapangan ilmu dan dakwah. Kemudian Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar mengadakan perjalanan ke Singapura dan ke Jawa, beliau selalu disambut hangat dan dikerumuni oleh banyak orang dan setelah itu beliau kembali ke negerinya dan di sambut dengan penuh penghormatan. Ketika keadaan negerinya mulai tenang dan segala sesuatu dapat berjalan dengan baik kakaknya Al-Habib Hamid pergi ke Haramayn. Sekembali kakaknya tahun 1308 H, Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar pergi ke Hyderabad India sebagai tamu Sulthan ‘Awadh bin Umar Al-Qu'aythi. Di sana orang dari berbagai bangsa dan lapisan masyarakat berdesak-desakan untuk menemuinya. Dari sana beliau melanjutkan perjalanan menuju Jawa Timur dan menetap di Bondowoso yang menjadi tempat pengabdiannya yang lama.

Kemudian, beliau bertemu dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi yang menghormatinya dan sangat senang kepadanya, tidak lama kemudian Al-Habib Muhammad bin Idrus menikahkan beliau dengan putrinya. Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar adalah orang yang tampan, gagah, dan putih kulitnya setiap yang melihat pasti segan dan senang terhadapnya. Di mana saja beliau berada orang berkerumun mengelilinginya bagaikan pagar. Yang membuat orang senang diantaranya ialah beliau selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang bagus serta kalimat yang santun dan bijak dan tidak mengherankan ucapannya diterima orang dan keinginannya pun dituruti. Peringatan dan nasehatnya memiliki pengaruh yang mendalam pada jiwa orang.

Kedudukan dan pengaruh beliau tidak terbatas pada kalangan Alawiyin atau masyarakat arab saja melainkan merata pada semua kalangan muslim, khususnya di Jawa bahkan juga orang Belanda dan pejabat pribumi. Beliau juga menjalin hubungan baik dengan ulama dan tokoh di berbagai belahan dunia. Dengan mereka, beliau sering berkorespondasi. Diantaranya beliau bersama Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Hiyed, Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, dan Al-Habib Muhammad Bin Agil bin Yahya bersurat menyurat dengan Imam Yahya penguasa Yaman pada saat itu. Di samping itu ada pula surat pribadi beliau (tidak dengan yang lain) kepadanya.

Beliau sangat senang kepada tamu beliau menerima dam mengurus mereka sepenuhnya dengan senang hati serta penuh penghormatan dan penghargaan. Apabila ada tamu datang beliau keluar menyambutnya hingga kedepan rumah dengan wajah berseri-seri dan penuh penghormatan, semua diterima dengan senang hati dan dengan ahklak yang terpuji sikap dan prilakunya membuat setiap orang menganggap bahwa dirinya adalah orang yang paling dekat dengan beliau dan paling di cintai olehnya. Kediaman beliau menjadi tujuan para tamu, tidak mengherankan bila semua rumah, masjid dan madrasahnya senantiasa ramai di kunjungi orang tanpa henti. Hari-hari di tempatnya seolah terus-menerus menjadi hari raya. Semasa hidupnya beliau dikenal memiliki perhatian sangat besar kepada umat dan masyarakat pada umumnya. Segala upaya beliau kerahkan untuk melakukan perbaikan di mana saja menyadari pentingnya kebersamaan dalam membangun masyarakat, beliau tidak hanya bertindak sendiri para hartawanpun beliau dorong untuk mau melakukan perbuatan baik. Tak terhitung lagi banyaknya madrasah, rumah yatim, dan masjid yang di bangun berkat usahanya. Madrasah Al-Khairiyah, Surabaya, serta Jamiat Kheir dan Daarul Aitam, Jakarta adalah sebagian lembaga yang di bantunya. Beliau juga mengupayakan berdirinya madrasah Al-Falah, Bondowoso pada tahun 1332 H (sekitar 1913 M).

Murah hati dan berbudi
Kemurahan dan akhlak beliau sering diceritakan orang. Kedermawanannya sulit ditandingi. Sangat banyak pribadi yang di bantunya dan beliau tidak membeda-bedakan mereka. Jika orang yang memiliki kesusahan datang kepadanya, beliau hilangkan kesulitannya. Jika orang memiliki utang meminta bantuan, beliau berikan sebagian hartanya. Dalam kitab Syams Azh-Zhahirah jilid pertama halaman 283 disebutkan bahwa beliau pernah melunasi hutang sahabatnya 20.000 gulden, meski demikian beliau tidak pernah menyebut-nyebut kebaikannya. Jika datang kepadanya orang yang lapar, orang itu dapat makan di tempatnya sampai kenyang. Hidangannya selalu terbentang rombongan demi rombongan makan di tempatnya setiap hari. Orang merasa heran atas keberkahan makanan ini, jika bepergian baliau naik kereta kelas satu dan memang beliau sangat pantas dan layak untuk itu.

Ghirah (kecemburuan sehingga selalu ingin membela) beliau terhadap Islam, Rasulullah, Ahli bait, Ulama dan orang shalih sangat tinggi. Bila ada yang memusuhi mereka atau membicarakan yang buruk tentang mereka baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, beliau sangat menentangnya. Perhatian beliau terhadap ilmu sangat besar. Wajar jika wawasan keilmuannya juga luas. Jika tidak ada tamu sebagian besar waktunya digunakan untuk membaca dan menelaah kitab, baik sendiri maupun dihadiri orang, yang dibacanya kebanyakan kitab hadits. Biasanya yang membacanya adalah putranya Al-Habib Alwi. Di majlisnya beliau tidak suka menyebut-nyebut dunia karena malu kepada Allah SWT. Jika beliau berada di kota lain majelisnya dipenuhi orang dimana-mana. Orangtua maupun anak muda ingin sekali menghadiri majelisnya. Diantara tokoh habaib yang dekat dengannya adalah Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan yang dianggap gurunya. Beliau sering mengunjunginya di Pekalongan, jika beliau datang Al-Habib Ahmad menyuruh para muridnya menyambut beliau dengan nasyid. Meski Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar lebih muda dan menganggapnya sebagai guru, Al-Habib Ahmad sangat menghormatinya. Al-Habib Ahmad pun suka mengunjungi beliau. Bahkan ketika telah lanjut usia dan lumpuh pula kakinya Al-Habib Ahmad bersama istri, anak-anak dan sejumlah muridnya mengunjungi beliau di kediamannya di Bondowoso.

Al-Habib Ahmad yakin bahwa Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar adalah orang yang do’anya mustajab. Suatu ketika Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar datang ke Pekalongan dan minta izin kepada Al-Habib Ahmad untuk pergi ke Jakarta. Ketika itu Al-Habib Ahmad berkata kepadanya : “Saya teringat kepada anak Saya Al-Habib Ali, Saya ingin ia datang pada ied tahun ini”, maka berkatalah Al-Habib Muhammad kepadanya, “Insya Allah ia akan hadir pada hari ‘ied di tempat Antum”. Ketika itu ‘ied sudah dekat sedangkan Al-Habib Ali (putra Al-Habib Ahmad) masih berada di Hadramaut. Tidak ada pula surat dari ayahnya yang memintanya datang, ketika Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar telah sampai di Jakarta orang berdatangan menyambutnya. Beliau hadir di rumah muhibbin (pecinta habaib), Ahmad bin Abdullah Basalamah dan mengadakan Rauhah setiap hari. Di antara yang di ceritakan oleh Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar megenai perjalanannya adalah apa yang terjadi diantara beliau dengan Al-Habib Ahmad mengenai masalah anaknya, Al-Habib Ali. Pada waktu ashar pada hari kelima Rauhah itu tiba-tiba datang tukang pos membawa telegram dari Al-Habib Ahmad yang isinya demikian : “Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar di Betawi, semoga Allah membahagiakanmu, Ali telah sampai di Singapura.

Al-Habib Ahmad bin Thalib Al-Attas, Pekalongan.”Pada malam selasa 21 syawwal 1344 H/ 4 mei 1926 M, Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar wafat di Surabaya setelah sempat dirawat dirumah sakit. Selasa keesokan harinya beliau dimakamkan dalam acara besar yang dihadiri orang Arab dan kaum muslimin pribumi dari segala tempat. Beliau dimakamkan di pemakaman Al-Habib Muhammad bin Adrus Al-Habsyi, mertuanya dan orang yang sangat dekat dengannya. Beliau meninggalkan lima anak laki-laki, Abdullah, Alwi, Sholeh, Husein, dan Muhdhar, serta tiga anak perempuan. Wafatnya seseorang seperti beliau benar-banar merupakan kehilangan dalam Islam. Wajarlah ketika berita meninggalnya terdengar orang-orang pun berkumpul dan mengadakan tahlil untuk beliau.(www.habaib.org/salim umar)
di Sabtu, Juli 26, 2008 0 komentar
Label: Manaqib
Manakib habib Sholeh Alhamid Tanggul

oleh : Salim Umar
Beliau adalah Seorang wali qhutub yang lebih dikenal Dengan nama habib Sholeh Tanggul, Ulama Karismatik yang berasal dari Hadro maut pertama kali melakukan da’wahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah tanggul Jember Jawa timur. Habib Sholeh lahir tahun 1313 H dikota Korbah , ayahnya bernama Muhsin bin Ahmad juga seorang tokoh Ulama dan Wali yang sangat di cintai masyarakat , Ibunya bernama Aisyah ba umar.

Sejak Kecil Habib sholeh gemar sekali menuntut ilmu , beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tashauf , berkat gembelengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan Batiniyah yang rindu akan Alloh Swt dan Rindunya Kepada Rosululloh SAW, akhirnya beliau melakukan Uzlah ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun sepanjang waktu selama beruzlah Habib Sholeh memperbanyak Baca al quran , Dzikir dan membaca Sholawat . Hingga Akhirnya Habib Sholeh Di datangi Oleh tokoh Ulama yang juga wali Quthub Habib Abu bakar bin Muhammad assegaf dari Gresik, Habib Sholeh Diberi sorban hijau yang katanya Sorban tersebut dari Rosululloh SAW dan ini menurut Habib Abu bakar assegaf adalah suatu Isyarat bahwa Gelar wali Qhutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin , Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul Menangis memohon kepada Alloh Swt agar mendapat Petunjuknya.

Dan suatu ketika habib Abyubakar Bin Muhammad assegaf gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya , setelah tiba dirumah habib Abubakar Bin Muhammad assegaf menyuruh Habib Sholeh tanggul untuk melakukan Mandi disebuah kolam Milik Habib Abu bakar Assegaf , setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri Ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan Isyarat Bahwa habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan Da’wak kepada masyrakat.

Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada Masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian-pengajian . Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai , dan Habib sholeh Mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat Kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahim ataupun untuk membahas berbagai masalah keaganmaan, bahkan para ulama serta habaib di tanah air selalu minta didoakan karena menurut mereka doa Habib sholeh tanggul selalu di kabulkan oleh alloh SWt, Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali Al habsy Kwitang dan Habib ali bungur dalam perjalanan Beliau melihat kerumunan Warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo’ ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan , lalu Habib sholeh Memohon kepada alloh Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jama’ah Majlis ta’limnya apabila do’a-doa kita ingin dikabulkan oleh Alloh Swt jangan sekali-kali kita membuat alloh murka dengan melakukan Maksiyat, Muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama’ah.

Habib Sholeh berpulang kerahmatulloh pada tanggal 7 syawal 1396 h atau sekitar tahun 1976, hingga sekarang Karomah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa maqom beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah apalagi waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh dibulan syawal ribuan orang akan tumpah ruah kejalan untuk memperingati Khaul beliau.
Read More..

TINJAUAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Ketika memasuki bulan Rabiul Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian-­pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.

Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:

"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :

"Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian." (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam."(QS. al-Anbiya',107)

Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

(KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember)
Read More..

KENDURI KEMATIAN, HARAMKAH?

Hukum Kenduri Kematian

Memperingati hari kematian adalah upacara yang diselenggarakan
ketika ada salah seorang saudara muslim yang meningal dunia.
Peringatan ini dilakukan setelah penguburan jenazah. Tradisi
ini biasa disebut dengan kenduri ("kenduren" dalam bahasa
Jawa). Ritual ini mengandung beberapa
acara yang kita kenal, seperti; ta'ziyah, membaca tahlil, surat Yasin atau ayat-ayat
al-Quran yang ditujukan kepada arwah yang meninggal dunia
dengan maksud memintakan ampunan dosa. Biasanya dilakukan pada
hari petama, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus
hari, satu tahun hingga seribu hari. Yang menjadi pertanyaan
kita apakah ritual semisal ini juga dilandaskan dengan tradisi
di masa Nabi Saw., para Sahabat, Tabi’in, Tabi’i Tabi’in dan
para imam madzhab, ataukah warisan dari tradisi masyarakat
Hindu dan Budha di pulau Jawa?

Menurut beberapa para ulama bahwa mengadakan ritual semisal itu
tidaklah diperbolehkan. Sebab bertakziyah dengan cara berkumpul
ramai-ramai, membaca al-Quran, berdzikir, berdoa dan mengadakan
hidangan makanan di rumah keluarga Si mayat bukanlah ajaran
Islam. Dalam hal ini imam al-Syafi'i menghukumi haram dan
bid'ah, bahkan banyak dari ulama madzhab ini yang menyatakan
hal sama, seperti; imam an-Nawawi, imam Ibnu Hajar al-Asqalani,
imam Ibnu Katsir, imam ar-Ramli dan banyak lagi yang lainnya.

Di dalam kitab 'I'anah ath-Thalibin juz. 2 hlm. 146 juga
disebutkan pengharaman kenduri arwah, sbb:
"Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia, tentang
menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan, oleh keluarga
Si mayat adalah bid’ah yang dibenci, termasuk dalam hal ini
berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga Si mayat, karena
terdapat hadis shahih dari Jarir, bahwa Jarir ibn Abdullah
berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri
arwah) di rumah Si mayat dan menyiapkan makanan sebagai
ratapan".(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad shahih)

Sementara menurut ulama yang lain ta'ziyah adalah suatu amal
yang disunahkan karena bisa meringankan kesedihan mereka. Amal
ini boleh dilakukan baik sebelum pemakaman atau sesudahnya,
secara langsunng atau tidak langsung, atau dengan mengirim
utusan selama kurang lebih tiga hari. Kecuali bagi yang tidak
hadir pada hari itu boleh melakuakan sampai melebihi tiga hari.
Pendapat tersebut dikuatakan dengan hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Nabi Saw. Beliau bersabda: ”
seorang mukmin berta'ziyah pada saudaranya, maka Allah akan
memberikan pakaian kemuliaan besok pada hari kiamat”. Imam al-
Syaukani berkata semua periwayat hadis tersebut bisa dipercaya
kecuali satu Qois Abu 'Imarah yang lemah. (Nailul Authar. juz
4 hal 108).

Dalam kitab Darul Mukhtar (fikih Hanafi); “ tidak apa-apa
berta'ziah pada ahli mayit dan menenangkannya, mendorong
bersabar dan duduk dengan meraka, di tempat selain masjid
selama tiga hari. adapun hari pertama adalah lebih diutamakan,
setelah itu dimakruhkan kecuali bagi yang tidak bisa hadir
(pada hari-hari sebelumnya)”. ( Hasyiyah Ibnu 'Abidin, juz 2,
hal. 241).

Dan juga di keluarkan oleh Ahmad dari Thowus (golongan Tabi'in)
berkata: “sesungguhnya orang yang mati di dalam kubur sedang
mendapat siksa, dianjurkan pada hari-hari itu untuk membuat
makanan yang disedekahkan kepada orang-orang mukmin”.

Syekh Abdul Qodir Isa Diyab berkomentar dalam bukunya dengan
menentang Syekh Abdussalam ulama Mesir, menurutnya bahwa
membuat makanan oleh keluarga Si mayat tetap hukumnya makruh,
karena keluarga itu sedang dalam keadaan bersedih dan susah
atas meninggalnya salah-satu anggota keluarganya. Seperti
diterangkan oleh imam al-Syafi’i : "hendaknya bagi tetangga-
tetangga dan kerabat-kerabat membuatkan makanan untuk keluarga
Si mayat pada hari itu, karna demikian itu adalah perbuatan
yang baik yang dilakukan oleh para pendahulu dan orang-ornga
setelahku". ( al-Umm, juz 1, hal. 247).

Dari landasan-landasan di atas dapat diketahui bahwa tradisi
ritual ini juga berlangsung di masa Salaf Salih dan dapat
ditetapkan hukum mengadakan kenduri untuk memperingati hari-
hari kematian adalah diperbolehkan, sedangkan memberi hidangan
makanan tetaplah makruh dengan memperhatikan kemaslahatan bagi
keluarga Si mayat. Forum ini juga merumuskan anjuran-anjuran
tentang pelaksanaan ritual ini secara benar menurut perspektif
syariat.
(Tim Kajian Reguler LBMNU Mesir)
Read More..

Monday, March 30, 2009

TERMINILOGI TAUHID MENURUT SYEIKH ABUL QOSIM

Tauhid menurut Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy

Allah swt. berfirman: “Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.” (Q.s. Al-Baqarah: 163).
Rasulullah saw. bersabda:
“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja . Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, ‘Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkan “separo tubuhku di darat dan separonya lagi di laut pada saat angin kencang”.

Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt.

berfirman pada angin, Kemarikan apa yang kamu ambil. ’Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah swt. bertanya pada orang tersebut, Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia menjawab ‘Karena malu kepada-Mu.’Kemudian Allah swt. mengampuninya.” (H.r. Bukhari).

Tauhid adalah suatu hukum bahwa sesungguhnyaAllah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti dikatakan, ‘Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungan dengan sifat keberanian (syaja’ah).”

Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada, yawahidu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti diucapkan: farrada fahuwa faarid, fard dan fariid. Akar kata Ahada, adalah Wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah , sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan di-dhammah diganti.

Makna eksistensi Allah swt. sebagai bersifat Esa didasarkan ucapan ilmu. Dikatakan, ‘Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk disifati dengan penempatan dan penghilangan.” Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki’, sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt, adalah Ketunggalan Dzat.

Sebagian ahli hakikat berkata,’ Arti bahwa AlIah swt. Itu Esa, adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat; penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, setta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya."

Tauhid ada tiga kategori:
Pertama, tauhid Allah swt. bagi Allah swt, yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah Esa.
Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba.
Ketiga, tauhidnya makhluk terhadap Allah swt. yaitu pengetahuan hamba bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia adalah Maha Esa. Serta wacana ini mengandung arti tauhid dalam ungkapan yang ringkas.

Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata, “Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan; cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Allah), maka Allah swt. pasti berbeda.”

Ahmad al-Juralry berkata, “Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekadar ucapan tentang tauhid saja.”
Al-Junayd ditanya seputar tauhid, jawabnya, “Menunggalkan Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan Keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalahYang Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dm keserupaan tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambaran dan tamsil. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Al-Junayd berkomentar, “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal tauhid, al-Junaid menjawab, “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan di dalamnya terkandung sejumlah ilmu, Sedangkan Allah sebagaimana Ada-Nya.”

Al-Hushry berkata, “Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima hal: Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkanYang Qadim; menghindari teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan apa yang diketahui dan tidak, “Manshur al-Maghriby berkata, “Tauhid adalah menggugurkan seluruh perantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada perantara itu disisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah celaka atau bahagia.”

Al-Junayd ditanya soal tauhidnya kalangan khusus. Ia berkata, “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Allah swt.; dimana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Allah swt. Sebagaimana kehendakNya: yaitusang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga ia sebagAlmma adanya, sebelum dirinya ada.”
Al-Busyanjy ditanya tentang tauhid, “Tidak adanya keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat,”jawabnya.
Sahi bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt, Dia menjawab, ‘Dzat Allah swt, disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa diterka melalui jangkauan, tidak terlihat mata di dunia. Allah swt. Maujud melalui kebenaran iman, tanpa di batasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang di akhirat nanti, yang tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya.

Mahluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. Menujukan melalui ayat-ayat-Nya. Hati mengenai-Nya, sedangkan akal tidak menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan matahati tanpa adanya jangkauan dan penemuan ujungnya.

Al-junayd berkata, “kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a
Maha suci Dzat yang tidak menjadikan jalan bagi mahluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya.
Al-junayd mengomentarinya, “Dimaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a bahwa Allah swt. Itu tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang di maksud dengan tidak berdaya, adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu juga orang ‘arif (mengenal Allah swt) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud sufi. ‘Marifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah sifat langsung. Ma’rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma’rifat itu mencapAl hakikat.’ Ash-Shiddiq r.a. sedikit pun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu.”

Al-junayd berkata, “tauhid yang dianut secara khusus oleh para sufi adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadist, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutuskan segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.
Yusuf ibnul Husain berkata, “Siapa yang tercebur dalam semudera tauhid, tidak akan bertambah waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.
Ada seseorang berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur, “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaum sufi?” Husain menjawab, “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh apa pun.”

Al Junayd berkata, “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.” Al-Junayd berkata pula, “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak dua puluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya.”

Dulaf asy-Syibly berkata, “Siapa yang melihat sebiji sawi ilmu tauhid, la akan lunglAl membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata, “Celaka Anda! Siapa yang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratnya pada tauhid, berarti ia penyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa saja yang merasa menemukanNya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri.”

Yusuf ibnul Husain berkata, “Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya.
Seakan-akan ia berdiri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturanNya dan hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya Al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya. Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa la hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt.”

Dikatakan, “Tauhid hanya bagi Allah swt, sedangkan makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan, “Tauhid berarti menggugurkan 'keakuan’, karenanya jangan bicara: 'bagiku, denganku, dariku dan kepadaku’.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya, ‘Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab, “yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata, “Tauhid berarti melebur unsur-unsur kemanusiaan dan manunggal dengan Ketuhanan.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelang akhir hayatnya, di saat sakitnya mulai parah, “Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu ketentuan hukum.” Kemudian beliau berkata seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “yaitu' Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-sepotong, sedang anda tetap bersyukur dan memuji.”

Asy-Syibly berkata, “Tak akan mencium bau tauhid, orang yang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’idAhmad al-Kharraz berkata, “Tahap mula bagi orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Allah swt.”

Asy-Syibly berkata pada seseorang, “Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly, “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda.”

Ibnu Atha’ berkata, “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Satu.”
Dikatakan, “Pada diri manusia ada segolongan yang dalam tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al- Jam’ra) secara batin melalui batin. Dan lahiriahnya, melihat lewat deskripsi keragaman.”

Al Junayd ditanya tentang tauhid, “Aku mendengar orang bersyair:
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana
kami ada
Ditanyakan kepada Al-junayd, “Keahlian anda (di bidang) Al-Qur’an dan Hadist?” Al-Junayd menjawab, “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dari ucapan terendah dan teringan.
Read More..

PERBUATAN BARU SAHABAT

Perbuatan Baru yang Dilakukan Sahabat pada Zaman Nabi SAW

Ada beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau

dibukakan pintu-pintu langit untuknya.

Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji­Nya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.

Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu­pintu langit telah dibukakan untuknya.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu­gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-­doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji­-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang­ orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al­lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
(Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?")
Read More..

PERNIKAHAN DINI (sebuah refleksi)

Masalah Pernikahan Dini

Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang menikahi

seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.

Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.

Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.

Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.

Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.

Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.

Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.

Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.

Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Read More..

PRAKTIK BID'AH PARA SAHABAT NABI

Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat

Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

"Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun." (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum

dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bid?ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".

b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?

Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.


Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"
Read More..

SYAIKH ZARUQ TENTANG BID'AH

Fasal tentang Bid'ah

Ada pendapat tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah.
Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
Read More..

Tuesday, March 17, 2009

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup yang diajarkan oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren, madrasah atau sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan, khususnya kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari amal keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan
ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan Aswaja itu sendiri. Banyak juga yang berkutat pada pemahaman Aswaja secara teoritik tapi tidak masuk ke dalam substansi Aswaja itu sendiri. Banyak yang hanya mengklaim diri sebagai kelompok Aswaja tapi tidak mengamalkan ajaran Aswaja itu sendiri.

Demikian Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan sesepuh Nahdliyin KH Muchit Muzadi saat berbincang dengan A Khoirul Anam dari NU Online bersama Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Wafa Patria Ummah dan dua kru majalah Reg@nita PP IPPNU, Ummu Sofiyah dan Durrotun Aniqoh, di sela sela ucara Puncak Peringatan Hari Lahir (Harlah) Ke-82 NU di Jakarta, Sabtu (2/2). Berikut kutipan lengkapnya:

Sebenarnya apakah Aswaja itu?

Secara umum Aswaja itu ya mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, melalui praktek-praktik yang dilakukan para Sahabat Nabi, tabiin, mujtahidin, imam madzhab, dan seterusnya. Dan itu sudah kita praktikkan sehari-hari. Aswaja itu berisi ajaran tauhid, fikih, tasawuf, dan seterusnya. Kita tidak sadar bahwa itu sudah Aswaja.

Oleh karena itu jadinya kita sering salah faham sehingga perlu membuat bidang studi khusus bernama Aswaja itu. Bidang itu biasanya mengenai sejarah Aswaja, asal usulnya dan seterusnya. Padahal sesungguhnya materi atau substansi Aswaja sudah kita pelajari di madrasah, di pesantren, di sekolah-sekolah terutama yang masih menggunakan kitab-kitab kuning yang kita sebut dengan kutubul mu’tabarah, kitab-kitab yang muktabar.

Katakanlah ketika kita belajar fikih mengenai sholat bahwa arkanus sholati sab’ata asyara (rukun shalat ada 17 acam) itu sesungguhnya itu sudah bagian dari materi fikih Aswaja. Ketika kita mempelajari furudul wudlu sittatun (wudlu itu harus mengerjakan 6 perkara) itu ADALAH bagian dari fikih Aswaja. Ketika kita belajar sifat sifat wajib Allah yang 20 itu berarti kita sedang memperlajari Aswaja di bidang tauhid. Ketika kita memperlajari akhlak, bahwa para sahabat itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasul yang punya kesibukan khusus di dalam proses pewarisan ajaran Islam itu namanya juga Aswaja.

Ketika kita memperlajari bahwa sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali atau khulafaur rasyidin, orang-orang yang terbaik di antara sahabat itu sudah termasuk ajaran Aswaja. Ketika kita mempelajari bahwa tawadlu (rendah hati) itu bagus tapi takabbur (sombong, angkuh) itu jelek berarti kita sedang mempeklajari Aswaja di bidang ahlak.

Jadi, selama ini yang dipelajari secara khusus dalam materi Aswaja itu sebenarnya bukan Aswaja?

Selama ini bukan masalah isi dari ajaran Aswaja itu yang kita anggap sebagai Aswaja. Materi Aswaja itu baru kita anggep aswaja kalau kita bicara Imam As’ary, Imam Maturidi, dan lainnya. Padahal sesungguhnya ajaran yang dipelopori oleh imam asy’ary atau oleh imam Maturidi yang diajarkan kepada murid-muridnya kemudian sampai Imam Sanusi yang kemudian beliau merumuskan sifat wajib Allah yang 20 itu kita sebenarnya hanya sampai hanya kepada itu saja, tidak sampai kepada semuanya.

Saya itu termasuk orang yang sering diundang oleh IPPNU, IPNU , PMII Ansor, untuk menyampaikan materi mengenai Aswaja. Biasanya saya hanya menerangkan tentang sejarah Aswaja. Tetapi materi Aswajanya itu sendiri tidak sempat saya sampaikan karena memang waktunya terbatas dan isi aswaja itu begitu luas mulai dari masalah akidah, kepercayaan, fikih, tasawuf.

Saya selalu mengkampanyekan bahwa aswaja itu begitu. Ini yang menurut saya sangat penting diingat. Aswaja selama ini kita asnggap terpisah dari apa yang selama ini kita pelajari. Ini menurut saya satu kekeliruan, yang perlu kita benahi. Saya tidak biacara kesalahan, tapi kekeliruan.

Banyak golongan yang menganggap diri paling Aswaja?

Sebenarnya tidak penting kita itu kelompok Aswaja apa tidak, yang penting kita sendiri berakidah Aswaja, bersyariat Aswaja, berakhlak Aswaja.

Makanya kita tidak perlu memasalahkan Aswaja secara teoritis yang intelektualistis. Misalnya KH Said Aqil Siradj meributkan apakah Aswaja itu madzab aqwal, pendapat-pendapat yang sudah mapan, apa metode berfikir atau manhajul fiqr, sialakan itu urusannya Pak Said dengan orang-orag yang pintar-pintar itu, wong nanti juga ujung-ujungnya akan kembali ke aqwal. Tapi kalau urusan saya bersama anak-anak IPPNU, IPNU, PMII, Ansor itu bagaimana Aswaja itu yang sudah kita pelajari selama ini. Setidaknya kita sadar bahwa ajaran Aswaja telah kita ketahui, kita yakini, dan kita amalkan. Jadi kita tidak berputar-putar dalam bayangan teori saja.

Selama ini saya sadar bahwa selama ini saya bercerita soal Aswaja itu ikut-ikut pengaruh saja, jadi ngeleang gitu, mengawang.

Bagaimana mensosialisikan pemahaman seperti ini?

Menurut saya, sekarang ini kita tidak usah muluk-muluk. Bayangkan pada tahun 1955 ketika NU itu berpisah dari Masyumi yang semula jadi satu. Ini kan kita mulai ngomong apa bedanya NU dan Masyumi. Waktu itu, kita tarik orang-orang Masyumi untuk jadi NU atau orang NU yang jadi masyumi untuk kembali ke NU. Bahkan orang yang nggak tahu NU dan masyumi kita untuk menjadi Masyumi. Sulit sekali waktu itu, terutama di daerah Tuban, Jawa Timur, yang agamanya kurang kuat, NU-nya belum tampak sama sekali. Saya katakan NU itu beda dengan Masyumi dan lebih baik, supaya mereka mau pilih NU. Nah sekarang tidak ada tantangan seperti itu.

Perlu disosialisasikan bahwa NU itu ya Islam yang biasa-biasa saja. Kalau yang ada yang meninggal diselameti. Dulu kita ngomong tahlil itu saja harus hati-hati karena tidak mengerti tahlil, ngertinya selamatan. Tapi sekarang tidak ada tantangan seperti itu.

Jadi beda antara model dakwah Wali Songo dan lembaga dakwah Islam Indonesia. Wali Songo itu dakwanya menyentuh dan difahami oleh orang. Berbeda dengan yang mereka yang mengaku memurnikan Islam anti TBC, taklid, bid’ah, khurofat. Ternyata yang mengerti dan mengikuti itu hanya satu-dua orang. Umat di bawah tetep selamatan. Jadi menurut saya yang penting adalah pendekatannya bagaimana.

Banyak kader NU sendiri yang justru tidak mengerti dalil-dalil amaliyah Aswaja, terutama disadari setelah jadi mahasiswa, sehingga banyak yang kemudian pindah aliran?

Dulu itu cara kita menerangkan ajaran Aswaja ya memakai alat kitab kuning. Tapi sekarang yang ada hanya kitab paket Departemen Agama yang banyak nggak nyebut masalah talkin mayyit dan lain-lain yang menjadi amaliyan NU. Bahkan malah ditutup-tutupi terutama pada masa Orde Baru, saat Departemen Agama dikuasai non-NU. Sekarang cuma ada beberapa madrasah saja yang tetap ada kitab kuning. Jadi sudah terlanjur begitu. Makanya kita perlu menggiatkan program semacam Training or Trainer (ToT), pelatihan untuk para pelatih Aswaja di kalangan IPPNU, IPNU, PMII atau Gerakan Pemuda Ansor. Dan pemahaman mengenai Aswaja harus lebih ditekankan pada isinya, bukan sejarahnya atau teorinya saja.
KH MUCHIT MUZADI
Read More..

Monday, March 16, 2009

PENDETA ITALIA MASUK ISLAM

Usai Menyaksikan Jenazah Raja Fahd, Seorang Pendeta Italia Masuk Islam


Sabtu, 20 Agustus 05 Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.

Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.

Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.

Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.

Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”

Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”

Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…
Read More..

my father

my father

me and mr. cipto

me and mr. cipto

gunung kelud

gunung kelud